Mozaik Pesantrenku
Hidup di dunia ini sangat singkat laksana orang yang tengah meneguk
air minum. Begitulah filsafat Jawa mengatakan “urip iki mung mampir ngombe”
(hidup ini bagaikan orang yang sedang minum). Ditengah menikmati air yang diminum
maka tanpa disadari air itu habis, sedangkan dahaga itu masih saja terasa. Dan
di sini, di sudut kamar pesantren ini, aku tengah termenung, membayangkan
kehidupanku.
Banyak orang yang punya segudang pengalaman tapi tak kunjung
mempelajarinya, namun tidak sedikit orang yang pengalamannya pendek bisa
mencerahkan hidupnya. Pengalaman yang banyak bercerita dalam hidupku adalah
lelaki kecil berkulit putih, namanya Saiful.
Kini ada kabar terbaru dari Saiful. Kang Farid Eko Wibowo, Lurah
pondok, sampai mengacung-acungkan tongkat kepada para santri yang tengah berkerumun.
“Ayo cepat bergegas mandi dan siap-siap”.
“Supaya takziah tidak terlambat dan kalian bisa mensalatkan mayatnya!”
*****
Almari, baju dan buku itulah yang mengingatkan aku tentang Saiful.
Dari kota Batang ia berangkat ke pondok sendiri tanpa didampingi orangtuanya.
Aku bertemu dengannya di kamar saat ia menata baju dan baju. Ia berdiri dan
memperkenalkan dirinya. Aku menatapnya lama, lalu kubisikkan, “selamat datang
di pondok pesantren, kawan”. Tanpa perjanjian apapun maka saat itu aku akrab
dengannya.
Hari ini, pertama masuk sekolah di Madrasah Aliyyah Mranggen, masih
suasana Masa Orientasi. Aku alergi dengan namanya MOS. Ah, apalah itu
paling-paling juga ambisi senior ingin melampiaskan dendam setahun yang lalu.
Tak mau menghabiskan uang untuk membeli perlengkapan senior apalagi aku anak
pondok yang tiap bulan harus menunggu kiriman uang dari orangtua. Keputusan
akhir, aku bersama Saiful membolos selama masa orientasi. Klop, dia menyetujui.
“Okelah kalau begitu kita harus segera melangkahkan kaki, pergi ke
pasar Mranggen” usul Saiful.
Tanpa pikir panjang kami keluar menuju pasar Mranggen. Mengendap
diam-diam tanpa sepengetahuan pihak keamanan pondok. Sambil berjalan, dia bercerita
tentang keterpaksaannya tinggal di pondok, dilema dan tidak kerasan (baca:
betah). Memang untuk mondok dan sekolah kami hanya khusus untuk laki-laki saja.
Demi keamanan masa-masa remaja dan melatih nafsu yang jelek, begitu alasannya. Dia
berfikir untuk pindah sekolah di luar kota yang modern dan mewah.
“Innama al a’malu bi an niat wa innama li kulli imri’in ma nawa” aku berucap.
Aku menyemangatinya. Ayolah kawan, segala sesuatu itu tergantung
niatnya kok, kalau ingin mencari ilmu marilah bersama perbaiki niat bahwa
mondok itu untuk mencari ilmu dan menghilangkan kebodohan, seperti kata kang
Farid saat pertama mengaji kitab Hadits Arbain Nawawi.
Hari pertama libur sekolah, Saiful dengan senang beranjak pulang ke
rumah. Aku berharap semoga dia tidak melanjutkan niatnya untuk pindah sekolah.
Ini berat rasanya, baru 6 bulan. Berat sekali buatku ketika harus kutinggalkan
pondok untuk dua minggu. Liburan semester, aku
belum banyak memanen ilmu di perantauan ini.
Kini dua minggu liburan itu telah lewat, aku menata almari dan menyapu
kamar. Saiful belum datang, kurasa jarak antara kota Batang dan Demak yang
menyebabkan ia harus tiba disini malam hari. Waktu telah tiba, ia tak kunjung
datang, akankah dia benar-benar pindah sekolah tanpa alasan yang lebih bagus.
“Kriiing” suara telepon kantor terdengar dari kamarku.
Tersiar kabar lelayu dari speaker TOA pondok. Aku kaget bukan
kepalang, lemas. Saiful, teman baruku itu meninggal dunia. Kabar beredar ia
bertabrakan saat naik motor bersama kawannya. Meninggal, kehabisan darah karena
luka serius di ulu hatinya. Oh tak kusangka kawan, niat pindah sekolahnya malah
berwujud pindah ruh dari jasadnya. Semoga amal baikmu di dunia bisa menjadi
temanmu disana dan aku hanya bisa mendoakanmu kawan, tidak lebih.
*****
Menjadi santri sungguh hal yang sudah pernah ku prediksi
sebelumnya. Ekspektatif. Sering sekali aku mendengar lagu-lagu religi yang
mendendangkan kota santri. Suasana yang tergambar dalam lagu, seakan nyaman
jika seorang benar-benar merantau untuk menuntut ilmu menjadi kaum sarungan
dalam dunia pesantren.
Ta’dhim (baca: rasa hormat) kepada guru sangat diajarkan di sekolah
kami. Yi adalah panggilan bagi guru yang mengajar kami di Madrasah Aliyyah. Yi
Maghfur contohnya pengajar mata pelajaran Ilmu Faroidl (ilmu waris-mewaris) ini
sangat disegani di Madrasah. Selain karena kharismanya yang begitu besar,
ketika dalam mengajar ilmu waris juga sangat tenang. Sudah menjadi hal yang
wajar jika mengantuk di kelas yang isinya cuma laki-laki semua. Namun saat
pelajaran Yi Maghfur jangan sampai tertidur. Oknum santri yang tertidur itu
akan dipanggil ke depan kelas, disuruh membeli gorengan ke kantin dan dimakan
di kelas. Sungguh membunuh karakter, tapi dibalik itu semua ada hikmah bahwa
resiko apapun yang diambil, hadapi dan nikmati karena Allah Swt selalu
memotivasi.
Keberkahan dari sang pengasuh juga menjadi keutamaan sendiri bagi
santri. Apapun dan meski dibilang nyleneh akan dilaksanakan demi meraih
keberkahan. Aku pun berlomba untuk mendapatkan keberkahan itu. Jam 3 sore hari.
Seperti biasa, aku bersama Mirza dan Imam menjelma menjadi tukang bersih-bersih
di masjid pesantren ini. Mirza, kelahiran Demak seangkatan dan Imam, orang
Cirebon telah nyantri 3 lebih lama dariku. Segala perlengkapan termasuk sapu 6
buah menemani hampir tiap hari. Masjid penuh sejarah yang melahirkan sosok
hebat. Hakim Konstitusi, Rektor dan Dosen adalah santri senior yang dulu pernah
riyadhoh dalam tempat suci ini.
Ketahuilah kawan mungkin inilah barokah tersebut, dulu saat ikut
Madin di rumah hafalanku sangat sedikit, paling buncit. Namun semua itu berubah
setelah nyantri, semua bait kitab nahwu bisa ludes dalam kepala ini.
Berharap suatu saat akan ada keajaiban yang datang menghampiri
hidupku. Dan aku yakin itu.
*****
Ratusan burung dadali menyerbu langit. Badannya ramping sehingga
terbang leluasa berkelok-kelok bersama terpaan angin. Hewan ovipar ini
mendekorasi langit dengan bercak-bercak hitam, hanyut dilatari deburan
troposfer. Mranggen menjelang malam, santri mulai bersiap diri untuk solat
berjamaah. Azan maghrib mengalun merdu dari pesantren – pesantren, santri
berduyun-duyun menuju masjid, menuju kemenangan sejati.
Masjid seperti oase bagi semua santri. Di sana, bukan sekedar
tempat untuk salat dan mengaji, tapi tempat belajar dan melancarkan hafalan.
Masjid nan indah, lampu kristalnya bergerincing tertiup angin walau hanya kristal
imitasi, luas masjidnya memantulkan suara tadarus santri. Di sebelah sisi kanan
dan kiri, almari berjejer berisi kitab suci Al Qur'an, kitab-kitab kuning yang
tertata rapi. Sempurna.
“Khoirun An Naas Anfa’uhum Li Annaas” sebaik-baik manusia
adalah yang bermanfaat bagi manusia lainnya. Kini aku sudah berada di
penghujung perantauanku. Tiga tahun di pondok bukanlah waktu yang lama. Dalam
benakku bisa kuliah bisa membayar sendiri dan tanpa merepotkan kedua orangtua. Setali
tiga uang, beredar info pendaftaran beasiswa untuk santri. Segera mungkin aku
mendaftarkan diri. Nilai mata pelajaranku memang bagus. Diatas rata-rata.
“Yes, Im available to get this schoolarship”, batinku.
*****
Tamat dari pondok
di Mranggen, aku merantau lagi ke luar kota. Di Jogja, untuk mencari pengalaman
menjadi seorang takmir masjid di kota pelajar itu. Bermodalkan tekad bulat
karena masjid yang ditempati berbeda ormas dengan ormas yang biasa kukenal. Adaptasi
dengan lingkungan karena keberadaanku di Jogja tidak untuk kuliah, sekedar menunggu
informasi beasiswa, mencari pengalaman dan teman.
Hampir satu bulan
aku berkelana di kota Yogyakarta. Adzan maghrib, ada sms masuk dari kakakku.
Sms yang akan mengubah jalan takdir hidupku.
“Dek, besok pulang
ke Semarang ya, ini beasiswamu diterima”
Aku bingung, ternyata beasiswa tersebut adalah beasiswa kuliah S1
yang diadakan oleh Kemenag RI. Kini aku mendapatkannya dengan segera aku pulang
ke Semarang untuk kembali berjuang menuntut ilmu. Kini aku yakin bahwa beasiswa
S1 ini keberkahan yang luar biasa. Alhamdulillah.*
*M Aulia Syamsul Riza, penulis adalah santri PP Futuhiyyah Mranggen
Demak.